Kamis, 22 Februari 2024

cuci uang

 




Pencucian uang merupakan  metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan 

menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana 

ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan 

aktivitas tindak pidana. Hal tersebut  dimulai dengan adanya transaksi keuangan, bahkan dalam 

transaksi tersebut terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan, yang terdiri dari transaksi 

untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, 

pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah 

uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Proses pencucian 

uang  pada umumnya melalui  tiga tahap kegiatan yaitu tahap penempatan, tahap penyebaran 

dan tahap pengumpulan. 

Institusi perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat terkait dengan masalah 

pencucian uang, makin tinggi tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor 

perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian 

uang. 

Perbuatan, sanksi pidana dan denda dalam tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-

undang  No. 8  Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 

(PPTPPU) 

Pencucuian uang pada hakekatnya merupakan aset  yang disamarkan atau disembunyikan asal 

usulnya agar dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari tindak pidana, 

yang akan diubah menjadi aset yang seolah-olah berasal dari sumber sah/legal. 

Dewasa ini di Indonesia baru berkembang pendeteksian tindak pidana korupsi dengan 

menggunakan pendekatan pencucian uang, sehingga auditor forensik ataupun penyidik 

tindak pidana korupsi selalu mencari hasil tindak pidana/korupsi yang  diubah menjadi 

aset lain. Pemahaman mencegah para pelaku tindak pidana pencucian uang mengubah 

dana hasil tindak pidana dari ”kotor” menjadi ”bersih” dan menyita hasil tindak pidana 

berupa aset dalam segala bentuk,  merupakan cara yang efektif untuk memerangi 

pencucian uang (money laundering). Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain, 

Indonesia juga memberikan perhatian besar terhadap tindak pidana lintas negara yang 

terorganisir (transnational organized crime) seperti pencucian uang (money laundering) 

dan terorisme. 

Pencucian uang (money laundering), yang merupakan suatu kejahatan di bidang pidana 

yang melibatkan harta kekayaan yang disamarkan atau disembunyikan asal usulnya 

dengan metode menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu 

tindak pidana, sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa harta kekayaan tersebut 

berasal dari kegiatan illegal 

Dalam konteks penegakan hukum, istilah money laundering bukanlah suatu konsep yang 

sederhana, melainkan sangat rumit karena masalahnya begitu kompleks sehingga cukup 

sulit untuk merumuskan delik-delik hukumnya (kriminalisasi) secara objektif dan efektif. 

Hal ini tercermin dari batasan pengertiannya yang cukup banyak dan bervariasi. Batasan 

pengertian (definisi) yang relatif tidak sama (berbeda-beda) itu juga terdapat pada negara-

negara yang sama-sama memiliki ketentuan (Undang-Undang) anti pencucian uang. 

Demikian juga halnya di antara lembaga dan organisasi internasional yang kompeten di 

bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Begitupun, dalam 

bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa “pencucian uang” adalah suatu perbuatan 

dengan cara-cara yang licik untuk mengaburkan asal-usul uang hasil kejahatan supaya 

hasil-hasil kejahatan itu akhirnya kelihatan menjadi seolah-olah bersumber dari suatu 

kegiatan usaha yang legal.  

Dalam perkembangannya, tindak pidana pencucian uang semakin kompleks melintasi 

batas-batas yurisdiksi, dan menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan 

lembaga di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Untuk 

mengantisipasi hal itu, Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering telah 

mengeluarkan standar internasional yang menjadi ukuran bagi setiap negara dalam 

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana 

pendanaan terorisme yang dikenal dengan Revised 40 Recommendations dan 9 Special 

Recommendations (Revised 40+9) FATF, antara lain mengenai perluasan pihak pelapor 

(reporting parties) yang mencakup pedagang permata dan perhiasan/logam mulia dan 

pedagang kendaraan bermotor. Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana 

pencucian uang perlu 

dilakukan kerja sama regional dan internasional melalui forum bilateral atau multilateral 

agar intensitas tindak pidana yang menghasilkan atau melibatkan harta kekayaan yang 

jumlahnya besar dapat diminimalisasi. Dalam menyikapi permasalahan tindak pidana 

pencucian uang Pemerintah Republik Indonesia sampai saat ini (2014) sudah 

mengeluarkan 3 (tiga) undang-undang yang menyangkut pencucian uang yaitu: Undang-

undang Nomor. 15  Tahun 2002, direvisi menjadi Undang-undang Nomor 25  Tahun 2003 

tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan terakhir direvisi dengan Undang-undang 

Nomor  8 Tahun 2010  tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 

(PPTPPU) 

 

1. Pengertian Transaksi Keuangan 

Pada umumnya pencucian uang dimulai dengan adanya transaksi keuangan, 

bahkan dalam transaksi tersebut terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan. 

Pengertian transaksi keuangan adalah sebagai berikut (UU Nomor 8 tahun 2010):   

Transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima 

penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, 

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas 

sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan 

dengan uang. 

Transaksi keuangan mencurigakan adalah: 

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan 

pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan; 

b. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan 

tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib 

dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; 

c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan 

harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau 

d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak    

pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak 

pidana. 

  

 

2. Pengertian Pencucian Uang (money laundering) 

 

Sesuai pasal 1 ayat (1)  Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan 

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)  yang dimaksud dengan 

pencucian uang adalah ”segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana 

sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”. 

Lebih lanjut dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang tersebut dijelaskan 

sebagai berikut: 

Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hasil tindak pidana adalah harta 

kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: 

a. korupsi; 

b. penyuapan; 

c. narkotika; 

d. psikotropika; 

e. penyelundupan tenaga kerja; 

f. penyelundupan migran; 

g. di bidang perbankan; 

h. di bidang pasar modal; 

i. di bidang perasuransian; 

j. kepabeanan; 

k. cukai; 

l. perdagangan orang; 

m. perdagangan senjata gelap; 

n. terorisme; 

o. penculikan; 

p. pencurian; 

q. penggelapan; 

r. penipuan; 

s. pemalsuan uang; 

t. perjudian; 

u. prostitusi; 

v. di bidang perpajakan; 

w. di bidang kehutanan; 

x. di bidang lingkungan hidup; 

 

y. di bidang kelautan dan perikanan; atau 

z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun 

atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia 

atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak 

pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 

Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa harta kekayaan yang diketahui atau patut 

diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung 

untuk kegiatan terorisme,  organisasi teroris, atau teroris perseorangan 

disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

huruf n. 

Jadi dapat disimpulkan secara umum pencucian uang dapat diartikan sebagai 

metode untuk menyembunyikan, memindahkan, dan menggunakan hasil dari 

suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, tindak pidana ekonomi, 

korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan 

aktivitas tindak pidana. Melihat pada definisi di atas, maka pencucian uang pada 

intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan atau 

disembunyikan asal usulnya sehingga dapat digunakan tanpa terdeteksi bahwa 

aset tersebut berasal dari kegiatan illegal. Melalui pencucian uang, pendapatan 

atau kekayaan yang berasal dari kegiatan melawan hukum diubah menjadi aset 

keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber sah/legal. 

 

B. PERBUATAN, SANKSI PIDANA DAN DENDA DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN 

UANG 

 

Dalam  Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan 

Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) dijelaskan tentang perbuatan, sanksi pidana dan denda 

dalam tindak pidana pencucian uang, yang dituangkan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 10 

sebagai berikut: 

1. Pasal 3  

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, 

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah 

bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas 

harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan 

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak 

pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan 

denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 

2. Pasal 4  

Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, 

peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta 

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana 

pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 

paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

 

3. Pasal 5  

(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, 

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta 

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak 

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana 

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 

(satu miliar rupiah). 

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor 

yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-

undang ini. 

4.   Pasal 6 

(1)   Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, 

Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap 

korporasi dan/atau personil pengendali korporasi. 

(2)    Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang: 

a. dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; 

b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; 

c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan 

d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. 

 

5.   Pasal 7 

(1)  Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling 

banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 

 

(2)   Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi 

juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: 

a. pengumuman putusan hakim; 

b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi; 

c. pencabutan izin usaha; 

d. pembubaran dan/atau pelarangan korporasi; 

e. perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau 

f. pengambilalihan korporasi oleh negara. 

 

6.   Pasal 8 

Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan 

pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. 

 

7.   Pasal 9 

(1) Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan 

perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi 

yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. 

(2)  Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana 

dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda 

dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan 

denda yang telah dibayar. 

 

8.    Pasal 10 

Setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik 

Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan 

jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang 

sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. 

 

 

C. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN 

UANG 

 

Uraian mengenai  tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian 

uang, dijelaskan dalam pasal 11 sampai dengan 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) sebagai 

berikut: 

 

1.    Pasal 11 

(1)  Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang 

yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan 

tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau 

keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-

undang ini. 

(2)   Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. 

(3)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau 

pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam 

rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. 

 

2.    Pasal 12 

(1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak pelapor dilarang 

memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung 

maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi 

keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada 

PPATK. 

(2)  Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak 

berlaku untuk pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur. 

(3)   Pejabat atau pegawai PPATK atau lembaga pengawas dan pengatur dilarang 

memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau 

telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan 

cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain. 

 

(4)  Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak 

berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini. 

(5)   Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda 

paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

 

3. Pasal 13 

Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 12 ayat (5), pidanadenda tersebut diganti dengan pidana kurungan 

paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan. 

 

4. Pasal 14 

Setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan 

kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana 

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak 

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

 

5. Pasal 15 

Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud 

dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 

dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 

 

6. Pasal 16 

Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang 

menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar 

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat 

(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 

 

  

 

D. PROSES PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) 

 

Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang,  namun pada 

dasarnya pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu 

(BPKP: 2007): 

1.   Tahap Penempatan (Placement stage) 

Tahap ini adalah suatu upaya menempatkan uang hasil kejahatan ke dalam sistem 

keuangan yang antara lain dilakukan melalui pemecahan sejumlah besar uang tunai 

menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam simpanan 

(rekening) bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan 

(cheques, money orders, etc) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di  

rekening bank yang berada di lokasi lain. Dalam tahapan ini uang hasil kejahatan 

adakalanya dipergunakan untuk membeli suatu aset/properti yurisdiksi setempat atau 

luar negeri. 

Bentuk kegiatan ini antara lain: 

1)  Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan 

pengajuan kredit/pembiayaan. 

2)   Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai pembayaran 

kredit untuk mengaburkan audit trail. 

3)      Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain. 

4)    Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang 

sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi 

kredit/pembiayaan. 

5)   Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, 

membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada 

pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK. 

 

2.   Tahap Penyebaran (Layering stage) 

Setelah uang hasil kejahatan masuk dalam sistem keuangan, pencuci uang akan 

terlibat dalam serentetan tindakan konversi atau pergerakan dana yang dimaksudkan 

untuk memisahkan atau menjauhkan dari sumber dana. Dana tersebut mungkin 

disalurkan melalui pembelian dan penjualan instrumen keuangan, atau pencuci uang 

dengan cara sederhana mengirimkan uang tersebut melalui ”electronic funds/wire 

transfer” kepada sejumlah bank yang berada di belahan dunia lain. Tindakan untuk 

11 

 

menyebarkan hasil kejahatan kedalam negara yang tidak mempunyai rezim anti 

money laundering, dalam beberapa hal mungkin dilakukan dengan menyamarkan 

transfer melalui bank sebagai pembayaran pembelian barang atau jasa sehingga 

tindakan tersebut seolah-olah nampak sebagai suatu tindakan hukum yang sah. 

Secara umum bentuk kegiatan ini antara lain: 

1)    Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara. 

2)   Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang 

sah 

3)   Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha 

yang  sah maupun shell company 

 

3.   Tahap Pengumpulan (Integration Stage) 

Dalam tahapan ini merupakan upaya menggunakan harta hasil kejahatan yang 

tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam kegiatan ekonomi 

yang sah misalnya dalam bentuk pembelian real estate, aset-aset yang mewah, atau 

ditanamkan dalam kegiatan usaha yang mengandung risiko. Dalam melakukan money 

laundering, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan 

besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk 

menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat 

dinikmati atau digunakan secara aman. 

Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun 

umumnya dilakukan secara tumpang tindih. Demikian juga dengan modus 

operandinya dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi 

dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal ini terjadi baik pada tahap penempatan 

(placement),tahap penyebaran (layering), maupun tahap pengumpulan (integration), 

sehingga penangananya pun menjadi semakit sulit dan membutuhkan peningkatan 

kemampuan (capacity building) secara sistimatis dan berkesinambungan. 

 

E. TITIK RAWAN PERBANKAN DALAM PROSES PENCUCIAN UANG 

 

Hal-hal yang menyebabkan titik rawan  kegiatan pencucian uang pada sektor perbankan 

yaitu (Nurharyanto:2013): 

1. Peranan sector perbankan dalam sistem keuangan di Indonesia diperkirakan 

mencapai 93% 

 

2. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan 

3. Jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan 

dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asal usul 

tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum. 

 

Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang, baik yang dilakukan oleh pelaku 

tanpa melibatkan pihak bank atau dengan melibatkan pihak bank, umumnya berupa: 

1. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box 

2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/giro 

3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal 

4. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang 

bersangkutan 

5. Penggunaan fasilitas transfer atau electronic funds transfer (EFT) 

6. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank 

terkait dan 

7. Pendirian/pemanfaatan bank gelap. 

 

Hal-hal tersebut diatas terjadi karena adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil 

kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank, karena penggunaan bank sangat 

diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Selain hal tersebut perlu 

dicermati berlakunya System Real Time Gross Settlement (RTGS) pada transaksi transfer 

dana antar bank, karena dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan mudah 

memindahkan dana hasil kejahatannya.  Demikian juga  penggunaan media pembayaran 

yang bersifat elektronik lebih sulit dilacak, terutama apabila dana tersebut masuk ke dalam 

sistem perbankan di negara yang ketat dalam menerapkan ketentuan rahasia bank. 

Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan 

membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang. 

 

 

1. Pencucian uang dimulai dengan adanya transaksi keuangan, bahkan dalam 

transaksi tersebut terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan 

2. Transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, 

penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, 

 

sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan 

dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. 

3. Pencucian uang adalah merupakan  metode untuk menyembunyikan, memindahkan, 

dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi tindak pidana, 

tindak pidana ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan 

lainnya yang merupakan aktivitas tindak pidana. 

4. Perbuatan, sanksi pidana dan denda dalam tindak pidana pencucian uang diatur 

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak 

Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) pasal 3 sampai dengan pasal 10. 

5. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dijelaskan 

dalam pasal 11 sampai dengan 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang 

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU) 

6. Proses pencucian uang  dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan yaitu tahap 

penempatan, tahap penyebaran dan tahap pengumpulan 

7. Institusi perbankan merupakan salah satu institusi yang sangat terkait dengan 

masalah pencucian uang.   

8. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan 

membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian 

uang. 

 

 

 

Share:
TRANSLATE
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Translate

viewer

SEARCH

widget translate
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Archive